Book
Yang Terhempas, Yang Bertahan
Meski masih dihadang setumpuk persoalan, MEA tetap jalan terus. Belum tuntas pula masalah-masalah land grabbing di tingkat akar rumput, krisis ekonomi berkepanjangan, industri modal dan asuransi yang lesu, hingga kurs nilai rupiah atas dolar yang menukik tajam. Namun Indonesia, lagi-lagi tetap bersikukuh memberlakukan MEA pada penghujung tahun ini. Dalih yang selalu didengung-dengungkan sama, yakni untuk mengangkat Indonesia dari krisis. Lepas dari apakah keikutsertaan dalam MEA itu akan mengebiri hak masyarakat atau tidak, itu soal nanti. Setidaknya keresahan itulah yang selalu dirasakan Anwar Sastro Maruf, Presiden Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI).
Bukan tanpa alasan mengapa pegiat isu-isu buruh tersebut merasa demikian. Ia mengaku pernah mengalami sendiri betapa hak-haknya sebagai buruh pernah dirampas oleh korporasi. “Jauh sebelum MEA riuh dibicarakan, pada 1995 saya merasakan betul betapa kuatnya represi pabrik atas saya dan teman-teman buruh lain. Hal itu tampak dari besaran upah yang tak setimpal dengan jam kerja yang kami berikan, PHK sepihak, hingga pelarangan berserikat,” ungkapnya. Kekecewaannya terhadap mekanisme kerja korporasi inilah yang membuatnya giat menggulirkan wacana untuk “memerdekakan” buruh lewat berbagai jalur, baik secara diplomatik maupun turun langsung ke jalan menyuarakan aspirasinya.
Tidak tersedia versi lain