Digital_Files
Kelapa Sawit: Antara Kebijakan Ketahanan Energi dan Climate Change Uni Eropa, serta Respon Pemerintah Indonesia
Sampul kertas posisi euPerdebatan mengenai kebijakan-kebijakan terkait Ketahanan Energi dan Climate Change pada umumnya tidak sejalan baik di tingkat global, maupun Nasional. Ketahanan Energi adalah ketersediaan sumber energi dengan harga yang terjangkau. Sedangkan, Climate Change mengutamakan kepentingan lingkungan. Untuk itu, gerakan lingkungan global terus menekan Pemerintah-pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan agar kebijakan ketahanan energi sejalan dengan kebijakan climate change.
Upaya perubahan tersebut dapat dilihat dari perkembangan kebijakan Uni Eropa yang berusaha merubah kebijakan terkait ketahanan energinya menjadi lebih sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional terkait Climate change. Resolusi terkait sawit dan deforestasi (Non-Legislative Resolution on Palm Oil and Deforestation) dan Renewable Energy Directive adalah salah satu contoh nyata yang masih diremukan oleh badan legislatif Uni Eropa. Mereka menghubungkan isu ketahanan energi dengan lingkungan sehingga terdapat sejumlah inisiatif-inisiatif yang dinilai “diskriminatif” terhadap produk ekonomi negara lain.
Indonesia, sebagai salah satu negara produsen kelapa sawit terbesar, merespon perdebatan di tingkat legislatif Uni Eropa dengan keras dan tidak satu suara. Pendapat-pendapat Menteri berbeda dan cenderung reaktif serta defensif karena Indonesia melihat persoalan ini dari pendekatan ekonomi politik internasional. Terdapat beberapa pernyataan Menteri yang menganggap bahwa “Tindakan diskriminatif ini berlawanan dengan posisi Uni Eropa sebagai champion of open, rules based free, and fair trade.”[1]
Perbedaan pendapat dalam melihat persoalan kelapa sawit, dengan kata lain melihat persoalan ketahanan energi, climate change, serta ekonomi, memicu perdebatan dan “politisasi” hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa. Sementara itu, isu-isu yang nyata terjadi, tidak dibahas, seperti deforestasi, konflik lahan, permasalahan buruh kelapa sawit serta pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia justru mengatakan bahwa ada “kampanye negatif” yang dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat global terkait kelapa sawit di Indonesia.
Persoalan ini dapat dijelaskan dari berbagai pendekatan teori hubungan internasional tentang, khususnya ketahanan energi internasional. Tentu saja, hal ini juga bisa dianalisis berdasarkan teori ekonomi politik internasional, akan tetapi dalam makalah ini, peneliti akan fokus terhadap ketahanan energi internasional yang dibalut dalam persoalan politik lingkungan. Makalah ini akan mendeskripsikan dan menganalisis langkah-langkah Uni Eropa dalam merumuskan resolusi Uni Eropa terkait sawit dan energi terbarukan; juga langkah-langkah Indonesia dalam merespon resolusi tersebut. Konsep ketahanan energi dan climate change akan digunakan untuk membantu menganalisis tindakan-tindakan yang diambil oleh kedua belah pihak, antara Uni Eropa sebagai importir energi, dan Indonesia sebagai exportir energi. Makalah ini tidak melihat perdebatan dengan kacamata ekonomi politik internasional.
[1] https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Tanggapan-Atas-Resolusi-Parlemen-Eropa-Tentang-Minyak-Sawit-.aspx
Tidak tersedia versi lain